Kamis, 16 Desember 2010

Semoga Perniagaanku Bisa Menyelamatkan dari Azab

Inilah perniagan sebenarnya. Perniagaan yang bisa menyelamatkan dari azab pedih.....
 
Hidayatullah.com--Sepertiga malam. Dunia masih gelap. Hanya terdengar suara jarum jam di dinding masjid “tik…tak…tik..tak” berputar meniti detik demi detik. Hening. Tak ada suara. Manusia lelap dalam peraduan. Bunga tidur yang semerbak membuai tidur mereka. Di tengah ke sunyian, di atas sajadah, aku benamkan sujudku yang dalam. Khusuk. Sebait rintihan yang menghujam di dalam dada. “Ighfirli zunuubi, ya rabbi”. Aku merapal doa itu sambil merintih. Kontan, doa itu menyeruak mengisi setiap relung hatiku.
 
Perlahan tapi pasti, doa itu keluar dari bibirku yang basah. Bulir-bulir putih tak terasa mengalir membasahi pipi. Mataku sembab. Hatiku gerimis. Isak tangisku semakin menggema memecah keheningan. Lalu hilang ditelan sunyi.
 
Dengan air mata yang masih mengalir, aku bangkit di rakaat ke dua. Suara serakku mencoba membaca QS. As-Shaf. Sejenak, aku berhenti di ayat ke- 10 dan 11. Mendadak, sesuatu menghenyak jiwa. Ayat  yang terdapat di surat ke-61 dalam kitab suci umat Islam itu membuatku terpekur, teringat sesuatu di masa silam.
 
Yah, tentang perniagaan. Sebuah perniagaan yang bisa menyelamatkan dari azab pedih. Perniagaan yang didasari iman kepada Allah dan rosul-Nya serta jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) dengan harta dan jiwa. Itulah  yang membuatku tersentak. Ibarat file komputer yang dibuka kembali. Kenangan hidup sepuluh tahun silam terkuak lebar.
 
Ketika itu, ayat ini pernah saya dengar dari seorang ustadz sewaktu belajar di pesantren dekat rumah di Blitar, Jawa Timur. Sejak itulah, lembaran hidup baru saya buka mengganti lembara lama yang penuh kelabu.
 
Status yatim ketika itu membuatku bernafsu mengejar dunia. Mengumpulkan dunia dengan perasan keringat dan bantingan tulang. “No time without money,” itulah falsafah hidup. Falsafah materialis. Tapi, itu terlampau jauh. Bagiku falsafah itu sekedar bentuk kemarahanku pada nasib, pada takdir tuhan yang memanggil ayahku di waktu kecil. Karena takdir itu pula, aku harus berjuang mati-matian, mengorbankan masa kecilku untuk sekedar membuat perut ibu dan saudaraku kenyang. Membuat mereka tidur lelap. Dan membiarkan mereka tetap tersenyum. Ya, itulah takdirku ketika itu.
 
Tapi, entah kenapa, kondisi itu justru yang menyebabkan aku jauh dari Allah, sang Khaliq alam semesta. Kondisi pelik itu membuatku jauh dari hamparan kasih sayang-Nya, dan mencari sisa-sisa kebahagiaan dari secuil dunia yang tidak ada arti. Aku salah! Aku tersesat! Jauh…jauh, jauhhhhh sekali.
 
“Membahagiakan mereka tidak harus jauh dari Allah. Tidak harus meninggalkan-Nya,” jeritku. 
 
Renungan itu begitu dalam. Tiba-tiba secercah cahaya masuk dan menerangi kalbuku yang sejak tadi temaram. Aku pun sadar. Ya, aku harus kembali. Kembali ke jalan yang benar. Secepatnya, sebelum telat. Alhamdulillah, Allah maha kaya. Karunia-Nya tak terkira. Luas, seluas langit dan bumi. Hamparan karunia itu juga masuk ke dalam rumahku. Membuat kenyang seisi rumah. Membuat senyum itu kembali terulas. Manis. Aku pun lega. Allah tidak jahat padaku.
 
Ketika cahaya hidayah masih menerangi kalbu, aku putuskan untuk masuk ke pesantren di daerah Blitar. Waktuku kuhabiskan untuk mengaji, menghafal al-Qur’an, menelaah isinya dan memahami tafsirnya. Tidak  hanya satu kitab tafsir, tapi banyak tafsir, tafsir Jalalain, tafsir Ibnu Katsier dan lainnya. Untuk memahami tafsir berbahasa arab itu, aku sebelumnya harus menguasai ilmu alat, seperti Ilmu nahwu dan sharaf.
 
Sejak itu, penampilanku berubah seratus persen. Jika sebelumnya aku akrab dengan celana jeans belel bolong-bolong, kaos oblong dan rambut acak-acakan, kini jauh berbeda. Jenggotku panjang, dua titik hitam menghias di areal jidadku, dan celana cingkrang. Kemana-mana aku memakai gamis dan songkok putih. Sebuah mushaf cetakan madinah tak pernah lepas berada di kantongku. Bagiku, itu adalah ciri-ciri muslim yang tidak harus malu aku tanjukkan ke setiap orang yang melihatku.
 
“Isyhad bi anna muslimun” setidaknya dalil itulah yang mendoktrin dan membuatku berubah.
 
Tak terpikir olehku ketika itu tentang mengumpulkan uang. Aku nyakin, uang akan datang jika membantu dan menolong agama Allah. Siapa yang menanam akhirat, dunia akan ikut. Siapa yang menaman padi, rumput akan ikut. Itulah sederet alasan yang memantapkan diriku berada di deretan-deretan “Anshorullah”, penolong agama Allah.  
 
Beberapa tahun kemudian, aku pindah ke sebuah pesantren di daerah Bogor, Jawa Barat. Di tempat baru ini, banyak pengalaman dan ilmu yang aku dapat. Aku bertemu dengan berbagai orang yang menurutku “gila”. Ya, gila karena seolah nafsu duniawi mereka telah dikeberi oleh ruh perjuangan. Mengumpulkan tabungan akhirat sebanyak-banyaknya. Tapi, anehnya, mereka tidak miskin. Perut mereka juga selalu kenyang. Hanya dua kali sepekan saja mereka merasa lapar. Itupun karena puasa sunnah Senin-Kamis.
 
Dari situ, aku sempat pindah ke berbagai pesantren lain di Jawa Barat, untuk memperdalam ilmu agama hingga akhirnya aku memutuskan merintis pesantren. Subhanaallah, Allah tidak tidur. Allah kemudian menggerakkan hati seorang dermawan mewakafkan tanahanya untuk pembangunan pesantren. Dari situlah perjuangan merintis pesantren gratis untuk semua orang dimulai.
 
Dimulai dengan membuka Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA). Antusisme masyarakat pun mengalir deras. Tidak hanya dari masyarakat sekitar, tapi antusiasme juga mengalir dari sejumlah pejabat di daerah tersebut. Banyak bantuan datang. Lahan cukup luas itu kini telah diisi asrama santri dan masjid. Proses pembangunan gedung lainnya kini terus berjalan. Inilah perniagan sebenarnya. Perniagaan yang bisa menyelamatkan dari azab pedih.
 
Tak terasa, dua jam lebih saya rukuk dan sujud di keningan malam itu. Malam itu terasa begitu sebentar. Aku ingin lebih dari itu, berkhalwat dengan sang khaliq, Allah SWT. Seperti janji-Nya, Ia turun ke bumi melihat setiap hamba-Nya yang bermunajat. Ingin rasanya mala ini tidak cepat pergi. Tapi, apa boleh buat, fajar subuh segera menyingsing. Aku ucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Tanda witir telah usai. [ansseperti diceritakan “Fulan” kepada hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar