Suatu hari, datang seorang pemuda kepada khalifah Umar seraya menyerahkan diri untuk diadili karena telah membunuh sesama muslim. Pengadilan pun dijalankan dan hukuman pun dijatuhkan kepada orang tersebut berupa hukuman qisas. Namun, sebelum hukuman dijalankan, khalifah Umar bin al-Khathab bertanya kepada pesalah tentang permintaan terakhirnya. Si pesalah pun berkata, “Izinkan saya pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak-saudara serta membayar hutang-hutang saya”. Khalifah umar pun mengabulkan permintaan terakhir si pesalah karena dinilai masuk akal.
Namun, ada satu hal yang menjadi pertimbangan. Disebabkan tempat tinggal pesalah terlalu jauh, maka sang Khalifah menginginkan adanya seorang penjamin bagi pesalah untuk diqisas jika sekiranya nanti si pesalah akan melarikan diri. Sesaat, si pesalah menatap kerumunan manusia yang sedang menyaksikan proses pengadilan dirinya, namun dia akhirnya tertunduk sedih karena mendapati bahawa dia tidak mempunyai seorang keluarga pun di kota ini.
Sesaat suasana hening. Di tengah keheningan itu muncullah susuk seorang pemuda separuh baya yang tidak lain adalah Abu Dzar al-Ghiffari, seorang sahabat Rasulullah SAW, seraya berkata, “Saya akan menjadi penjamin orang ini”. Lalu, Abu Dzar menanda tangan surat perjanjian penjamin dan si pesalah dibolehkan pulang ke kampung halamannya selama tujuh hari.
Hari berganti hari hingga sampailah hari ketujuh kepulangan pesalah ke kampung halamannya. Namun begitu, tidak terlihat sedikitpun tanda-tanda akan kembalinya si pesalah untuk memenuhi hukumannya. Orang-orang mulai panik melihat keadaan ini. Tidak sedikit yang menangis karena melihat sahabat Abu Dzar akan segera dihukum, meski ia sedikitpun tidak bersalah dan hanya sebagai orang yang menjamin pesalah. Tidak sedikit pula yang kecewa terhadap pesalah yang dinilai tidak mempunyai harga diri.
Namun, tak lama kemudian terdengar suara dari kejauhan, dan terlihat susuk seorang lelaki yang sedang berjalan dalam keadaan sempoyongan. Ternyata tidak lain orang itu adalah si pesalah, yang terlihat lusuh juga keletihan. Kerena si pesalah sudah hadir kembali, maka sahabat Abu Dzar pun dibebaskan. Kemudian sang hakim bertanya kepada si pesalah, kenapa dia tidak memilih untuk kabur saja dan melarikan diri dari jeratan hukuman, terlebih sudah ada orang yang menjaminnya.
Si terdakwa pun berkata, “Benar, saya bisa saja melarikan diri dari hukuman ini, namun saya malu jika nanti di dalam sejarah Islam terdapat seorang muslim yang ingkar janji untuk kepentingan dirinya dan tidak mahu menjaga harga dirinya sebagai muslim yang bertanggungjawab,” jawab si pesalah. Saat pengakuan itu, ternyata 3 orang keluarga korban menyaksikan dan mendengarkannya. Mereka merasakan kejujuran dan ketulusan dari pengakuan si pesalah.
Mereka yang pada awalnya berharap hukuman yang setimpal bagi si pesalah mencabut tuntutan mereka dengan berkata, “Kami dari keluarga korban telah memaafkan orang ini,” seraya menunjuk si pesalah. Si hakim pun lalu bertanya, “Mengapa kalian memaafkan orang ini, sedangkan ia telah membunuh saudaramu?” Para keluarga korban pun menjawab, “Sebagai muslim, kami mempunyai harga diri. Kami malu, sekiranya nanti di dalam sejarah terdapat seorang muslim yang tidak mahu memaafkan kesalahan saudaranya sesama muslim”.
Setelah mendengar pengakuan keluarga korban, sang hakim pun kemudian bertanya kepada sahabat Abu Dzar, kenapa ia sampai merelakan dirinya untuk menjadi penjamin bagi si pesalah, seorang yang tidak dia kenal sama sekali. Sahabat Abu Dzar pun menjawab, “Sebagai seorang muslim, saya malu jika nanti sejarah islam mencatat bahawa dahulu ada seorang muslim yang sedang kesulitan dan meminta bantuan, namun tak ada seorang pun yang bersedia untuk meringankan bebannya dan menolongnya”.
Subhanallah! Begitulah gambaran keindahan umat terdahulu. Begitu terlihat bahawasanya kaum muslimin saling menyayangi antara satu sama lain. Saling menutupi kesusahan, saling memaafkan, saling menutupi aib, dan saling menjaga harga diri demi keyakinan yang dianutnya. Begitu besar penjagaan mereka terhadap Islam sebagai agama mereka, hingga mereka menilai harga diri itu bukan lagi dilihat dari pangkat dan jabatan, bukan dari kesalahan-kesalahan saudaranya, namun mereka melihatnya dari rasa keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Semoga kita bisa menarik intisari hikmah dan pelajaran dari kisah ini, untuk dapat kita teladani dan menjadi acuan dalam hidup dan kehidupan. Karena sesungguhnya, kaum muslimin adalah bersaudara..
Wallahu a’lam
Khalifah Umar bin al-Khathab ra, seorang sahabat Rasulullah SAW, adalah seorang pemimpin yang dikenal sangat adil, tegas, disiplin namun sangat humanis di zamannya. Banyak orang yang mulanya menentang Islam, namun akhirnya tersedar dan insaf kerana kepemimpinan Sayyidina Umar bin al-Khathab ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar